Rabu, 29 Desember 2010

SURAT WASIAT

بسم الله الرحمن الرحيم
SURAT WASIAT

Dengan ini saya mengatakan: 

الحمد لله , و الصلاة و السلام على رسول الله  و على آله و صحبه  و من واله , أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمدا عبده و رسوله لا النبي بعده , أما بعد

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

(كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ )

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
[QS. Al Baqoroh: 180].

Ayat ini menunjukan di syari’atkannya kita meninggalkan wasiat sebelum meninggal dunia, baik berupa pesan-pesan ilmu maupun berupa harta.

Yang di maksud dengan “Ma'ruf” dalam ayat tersebut ialah adil dan baik.

Jika wasiat itu mengenai “harta” maka tidak melebihi “sepertiga” dari seluruh harta orang yang akan meninggal tersebut. Hal ini di sebabkan ayat ini dimansukh (dihapus) dengan ayat mawaris (tentang warisan).

Demikian juga dalam harta tidak ada wasiat untuk ahli waris, sebagaimana dalam hadits berikut:
عن أَبَا أُمَامَةَ - عَمْرو بن خارجة - الْبَاهِلِىّ قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يخطب وهو يقول :
(( إن الله قد أعطى كلّ ذي حق حقه، فلا وصية لوارث .. ))

[أخرجه أحمد 5/267(22650) و"أبو داود" 2870 و3565 و"ابن ماجة" 2007 و2295 و2398 و2713 (2405) والتِّرْمِذِيّ" 670 ]

Dari Abu Umamah –Amr bin Khorijah- Al Bahiliy radliallahu’anhu, berkata: aku mendengar Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam berkhuthbah, dan beliau bersabda:
(( Sesungguhnya Allah telah memberikan orang-orang yang berhak menerima harta waris sesuai dengan haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat -harta- kepada ahli warits..  )).
[HR. Ahmad (5/267)-(22650), Abu Dawud (2870) (3565), Ibnu Majah (2007) (2295) (2398) (2713) (2405) dan At Tirmidzi (670)].

Oleh karena itu berdasarkan hadits tersebut, apabila ada seorang yang akan meninggal berwasiat harta yang ditujukan kepada ahli warits (orang-orang yang akan mendapatkan warisan), maka hendaknya dibatalkan.

Atau apabila terlanjur mewasiatkannya sedangkan orang yang telah meniggal tersebut tidak mengetahui hukum syari’at ini, maka ahli waritsnya membatalkannya, hal ini disebabkan wasiat tersebut bertentangan dengan syari’at Rabbul ‘alamin.
Ketahuilah oleh kalian.. bahwa Setiap wasiat yang bertentangan dengan syari’at islam atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah, maka wasiat tersebut adalah batal.  

     Bersamaan dengan ini juga, maka sayapun berwasiat kepada:     
  • Diri saya sendiri, keluarga saya , 
  • istri saya, anak-anak saya, cucu-cucu saya, orang-orang tua saya, dan seluruh kerabat dan handaitaulan saya,
  • Dan juga kepada saudara-saudara seiman dan seaqidah dari Kaum muslimin

Pertama:
Somoga Allah merahmati kalian..

hendaknya kalian senantiasa “bertaqwa” kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah mati melainkan dalam keadaan Islam.

Karena taqwa adalah sebaik-baiknya bekal, Allah mewariskan surga hanya kepada orang-orang yang bertaqwa, merekalah orang-orang yang paling mulia di sisi Allah.

Adapun di dunia.. hanya orang-orang yang bertaqwa yang selalu mendapatkan jalan keluar dari kesulitannya dan segala masalah yang sedang ia hadapi, dengan bertaqwa kepada Allah maka Allah akan selalu memberikan rizqi dari jalan yang tidak di sangka-sangkanya, juga dengan bertaqwa kepada Allah maka segala urusan akan menjadi mudah.

Maka bertaqwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada..

Kedua:
Semoga Allah memberikan hidayah pada kalian..
ketahuilah bahwa kalian tidak akan pernah menjadi orang yang bertaqwa, kecuali jika terpenuhi syarat dan rukunnya.

Rukun taqwa ada 2, yaitu:
  • Menjalankan perintah-perintah Allah berdasarkan Al qur’an dan Sunnah (Hadits) dengan mengharapkan ganjaran / pahala dari Allah.
  • Meninggalkan larangan-larangan Allah juga berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah karena rasa takut akan siksa / adzab dari Allah.
Dan yang perlu diperhatikan adalah: Al Qur’an dan Sunnah (hadits) adalah dua sumber ajaran Islam yang tidak akan tersesat orang yang berpegang teguh dengan keduanya, maka wajib bagi kalian dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah (hadits) dengan pemahaman para salafus sholeh, mereka itu adalah orang-orang terdahulu dari ummat ini yang sholeh, yaitu: Para Shahabat Nabi –shalallahu’alaihi wa sallam-, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, serta mengikuti ulama-ulama yang berada pada jalan mereka dalam memahami agama ini.

Hal ini di karenakan mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui apa yang di inginkan oleh Allah dan Rasul –Nya, mereka adalah orang-orang yang telah menempuh “shirathal mustaqim”, dan mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhaan Allah baik di dunia maupun di akhirat.. ayat-ayat Allah yang berbicara demikian bertebaran dalam al Qur’an demikian juga dalam hadits-hadits Nabi –shalallahu’alaihi wa sallam- .

Sedangkan syarat taqwa ada 3, yaitu:
  •  Ilmu, yaitu dengan mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah (hadits) dengan pemahaman salafus sholeh..
  •  Ikhlas, yaitu bertauhid kepada Allah, beribadah hanya untuk Allah dan tidak menyekutukannya sedikitpun dengan makhluk -Nya.
  • Ittiba’, mengikuti contoh Nabi –shalallahu’alaihi wa sallam- dalam beribadah, apa yang di contohkannya maka kita menggerjakannya, apa yang tidak di contohkannya maka kita tidak mengerjakannya.
Namun yang harus diperhatikan disini adalah, bahwa kalian tidak akan dapat mengetahui rukun dan syarat taqwa, dan hal-hal yang membawa kepada ketaqwaan tanpa belajar, tanpa datang kemajelis ta’lim untuk mempelajari agama Allah ini, oleh karena itu wajib bagi kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama ini.

Belajarlah kepada guru-guru agama yang mumpuni dan benar-benar mengetahui agama ini yang mengambil sumber dari Al Qur’an dan Sunnah (hadist) dengan mengikuti pemahaman Salafus Sholeh, dan janganlah belajar dari guru-guru yang jahil (bodoh) terhadap agama ini, yang memahami Al qur’an dan Sunnah dengan akalnya sendiri atau dengan hawa nafsunya.

Ketiga :

Istriku, anak-anak ku, cucu-cucuku, dan saudara-saudaraku semua.. Semoga Allah senantiasa membimbing kalian dengan hidayah –Nya..

Jika saya mati nanti, maka saya berwasiat agar penyelenggaraan jenazah saya harus sesuai dengan tuntunan syari’at islam berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah, serta hindari dari perbuatan khurofat dan bid’ah.

Oleh karena itu hendaknya yang menyelenggarakan jenazah saya adalah orang yang mengetahui penyelenggaraan jenazah sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, sehingga ia bisa menghindari dari perbuatan-perbuatan khurofat dan bid’ah dalam penyelenggaraan jenazah saya.

Dan saya tidak ridha kepada siapa saja yang berusaha ingin meyelenggarakannya dengan cara-cara yang dilarang dalam islam tersebut (khurofat dan bid’ah) meskipun yang melakukannya adalah orang yang terpandang di masyarakat sekalipun (dari kiyai haji, atau ustadz, dll ).

Oleh karena itu belajarlah kalian tentang bagaimana penyelenggaraan jenazah yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.

Dan Saya juga berwasiat..
·         hendaknya usahakan jenazah saya dikuburkan pada perkuburan muslimin yang terdekat dari tempat saya meninggal dunia, dan jangan membawanya pindah ketempat yang lain..

·        janganlah dibacakan Al Qur’an surat Yasin pada jenazah saya sebelum dikuburnya, atau bacaan-bacaan Al Qur’an yang lainnya, juga dibakarkan stanggi dan kemenyan, karena itu tidak ada tuntunannya dalam islam (bid’ah)..

·       ketahuilah wahai keluargaku.. bahwa kita sedang tertimpa mushibah dengan kematian saya, maka janganlah kalian merepotkan diri untuk melayani tamu yang berta’ziah dengan menyuguhkan makanan atau minuman kepada mereka, karena syari’atkan islam melarangnya..

·         Janganlah mengadakan selamatan apapun untuk kematian saya setelah saya di kubur, baik itu yang namanya brobosan, kendurian, tahlilan, yasinan, manaqiban, atau peringatan-peringatan kematian yang lainya seperti : 7 harian, 40 harian, 100 harian, 1000 harian, atau 1 abad-an, karena semua itu tidak ada tuntunannya dalam islam (bid’ah), dan percuma saja bila tetap dilakukan karena doa dan pahalanya tidak akan pernah sampai kepada saya dikubur. Sebab Allah telah menolak (tidak menerima) amalan-amalan tersebut, apalagi akan memberikannya pahala, maka sangat jauh dari prasangka kita.

·        Doa dan pahala yang sampai kepada saya adalah doa yang datang dari anak-anaku yang sholeh, dan amalan-amalan anak-anakku yang sholeh. Oleh karena itu terhadap anak-anakku saya berwasiat: “hendaklah kalian selalu mendoakan orang tuamu ..nak! baik yang masih hidup atau yang sudah mati, dan jadilah kalian anak-anak yang sholeh..!, agar apa yang kalian amalkan bermanfaat bagi kedua orang tua kalian, baik ketika hidupnya ataupun sesudah matinya”.

·     Janganlah mengistimewakan kuburan saya dengan membangunnya, atau memperbagusnya, karena ini termasuk dalam larangan islam. Dan janganlah membaca apapun dari bacaan-bacaan AlQur’an (seperti al fatihah atau yasin, dll) atau membawa air dan taburan bunga ketika kalian berziarah ke kubur saya, atau mengumandangkan adzan dan iqomah, karena itu juga tidak ada tuntunannya dalam islam. Akan tetapi bacakanlah doa ampunan untuk saya ketika berada di atas kubur saya.

·         Harta warisan peninggalan saya hendaknya segera dibagi sesuai dengan tuntunan islam dalam ilmu warisan (fara’idl), hal itu dilakukan bila telah selesai melunasi hutang-hutang saya, dan janganlah mengikuti aturan-aturan lain dalam pembagian warisan, dan tidak ada istilah pembagian sama rata dalam warisan, karena keadilan bukan berarti harus sama rata, akan tetapi keadilan adalah yang sejalan dengan apa yang di inginkan oleh Allah dan Rasul –Nya.

Demikianlah wasiat yang saya tinggalkan kepada kalian.. semoga Allah senantiasa memberikan hidayah taufik kepada kita semua, sehingga kita mau dan mampu menjalankan segala apa yang diperintah dan dilarang –Nya.

Sebelum dan sesudahnya dalam memenuhi dan menjalankan wasiat saya, maka saya ucapkan terima kasih.
و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و بارك و سلم
والحمد لله رب العالمين
Saya yang berwasiat

ABU  JARIR ARI TRIONO BIN HADI AL ANDUNISIY AL ATSARIY












     








Rabu, 22 Desember 2010

Hukum Pajak atau Bea Cukai dalam Islam (Haram)

Pajak atau Cukai bahasa arabnya "Adl Dlariibah" (الضريبة) atau " Al Maksu" (المكس)..

و صاحب المكس هو مَنْ يَتَوَلَّى الضَّرَائِب الَّتِي تُؤْخَذ مِنْ النَّاس بِغَيْرِ حَقّ

"Pelaku Al Maksu adalah orang yang mengusai atau yang mengampu Adl Dloro'ib adalah yang mengambil harta dari manusia dengan tanpa haq". [An Nihayah - lihat Aunl Ma'bud].

Salah satu bentuk kedhaliman dalam masalah harta keharaman yang dipandang syari’at Islam adalah mengambil upeti/pajak dan cukai dari harta kaum muslimin.  

Kamis, 09 Desember 2010

NIAT BAIK ( النوايا الحسنة )

Bismillah

Banyak orang yang mengatakan: “Iya ini memang tidak ada dalam Islam.. tapi –kan ini baik.. yang pentingkan niatnya..!!”.

Sebelum menjawab perkataan tersebut, saya mengajak kepada saudara pembaca, mari kita sama-sama memperhatikan sebuah atsar dari Abdullah bin Mas’ud radliallahu’anhu, berikut ini:

Dari ‘Amr bin Salamah (seorang tabi’in – murid dari Abdullah bin Mas’ud), berkata: “Kami pernah duduk-duduk didepan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat dzhuhur, apabila beliau keluar maka kami berjalan bersama beliau menuju ke masjid.

Tiba-tiba datanglah Abu Musa Al Asy’ariy radliallahu’anhu, lalu berkata: “Apakah Abu Abdurrahman sudah keluar menemui kalian tadi?”, kami menjawab: “Belum..”, maka Beliaupun duduk bersama kami hingga Ibnu Mas’ud keluar .

Rabu, 08 Desember 2010

Bolehkah Bermajlis Dengan Ahli Bid'ah???

Atsar-Atsar Para Salafush-Sholih

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu anhuma, ia berkata :

تجالس أهل الأهواء ، فإن مجالستهم ممرضة للقلوب

“Janganlah engkau duduk-duduk (bermajelis) dengan ahlul ahwa! karena duduk-duduk bersama mereka membuat hati menjadi sakit.”[Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari'ah pada bab Dzammul Jidal wal Khushumat fid Din dan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumridhul Qulub wa yufsidul Iman, dengan sanad yang shohih.]

Dari Abdullah ar-Rumi, ia berkata : "Datang seseorang kepada Anas bin Malik rodhiyallohu anhu, dan aku berada di sisinya, kemudian orang itu berkata : “wahai Abu Hamzah, aku bertemu dengan suatu kaum yang mendustakan adanya syafa’at dan adzab kubur”. 

Anas berkata :

أولئك الكذابون ، فلا تجالسهم

“Mereka adalah pendusta, jangan kamu duduk bersama mereka!”

[Diriwayatkan Ibnu Baththoh dalam al-Ibanah al-Kubro pada bab at-Tahdzir min Shuhbati Qoumin Yumridul Qulub wa yufsidul Iman, dalam kitab Ushulus Sunnah dengan tahqiq al-Walid bin Muhammad Nabih hal. 31 dikatakan bahwa sanadnya la ba'sa bihi, wallahu a'lam]

TANDA-TANDA / CIRI-CIRI AHLI BID’AH DAN PARA PEMBELANYA

Ahlul bid'ah dan Para pembelanya memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri yang nampak, sehingga mereka mudah dikenal. Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan tentang sebagian tanda-tanda mereka untuk dijadikan peringatan bagi umat dari bahaya mereka dan larangan mengambil jalan hidup mereka. Para Salaf pun telah menerangkan masalah ini.

Termasuk tanda-tanda atau ciri mereka adalah:    

1. BERPECAH-BELAH  

Maksudnya, mereka berpecah belah menjadi bergolong-golongan, berpartai-partai (hizbiy), bermadzhab-madzhab, sehingga yang menjadi dasar dan sumber rujukan agama bagi mereka adalah golongannya, bukan Al Qur'an dan Sunnah, serta mereka bangga dan fanatik terhadap apa yang ada pada golongannya itu.

Senin, 29 November 2010

Enam Perkara Yang Harus Diperhatikan Dalam ITTIBA’ (Ibadah Mengikuti Nabi).

ITTIBA’ tidak akan terwujud kecuali jika amalan sesuai dengan syariat di dalam 6 (enam) perkara, bila keluar dari contoh Nabi atau syari’at yang telah di tetapkan maka amaln tersebut adalah IBTIDA (telah melakukan BID’AH)

Ke 6 perkara tersebut yaitu:



1. Sebab.  
Jika seseorang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan satu ibadah yang disertai dengan sebab yang tidak syar’i maka ibadah ini tertolak kepada pelakunya.

Contohnya:
Menghidupkan malam ke 17 atau  27 bulan Ramadhan dengan shalat tahajjud setelah tarawih , dengan anggapan bahwa malam itu adalah malam Nuzulul Qur’an.
Maka shalat tahajjud pada asalnya adalah ibadah, namun ketika dikaitkan dengan sebab ini, maka menjadi bid’ah karena dibangun di atas sebab yang tidak ditetapkan secara syar’i.  

Minggu, 28 November 2010

BERSATU DI ATAS KEMUNGKARAN???

Banyak kaum kaum muslimin, bahkan juga para kiyainya serta ustadznya mereka “alergi” (baca: benci) untuk berbicara atau membahas tentang masalah BID’AH..!

Mereka menyangka bahwa: “bila berbicara bid’ah akan memecah belah ummat..”

Mereka menyangka juga bahwa: “bid’ah adalah masalah khilafiah (perbedaan) biasa.. yg tidak perlu diributkan atau dipermasalahkan…”.

Bukankah justru bid’ah -lah yang menyebabkan perpecahan…?
Dan bukankah bid’ah adalah bentuk khilafiyah yang tidak bisa di tolelir..?

Jumat, 26 November 2010

Berbakti Kepada Orang Tua Meskipun Mereka Tidak Perhatian Kepada Kita


Pertanyaan:

Assalaamu ‘alaikum, saya mau tanya, bagaimana caranya berbakti kepada orang tua sedangkan orang tua ketika aku kecil tidak sayang padaku? Bahkan aku seperti bukan anaknya, mohon kasih saran..




Jawaban:

Wa’alaikumus salaam warahmatullah.

Allah Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur`an akan wajibnya berbakti kepada orang tua, seperti dalam firman-Nya :   

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)


"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Israa`: 23-24)

Keutamaan Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Birrul Walidaini)


Dalam sebuah hadits:


عن المغيرة بن شعبة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:  إن الله حرم عليكم عقوق الامهات وواد البنات ومنعا وهات وكره لكم ثلاثا قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال 
Dari Al Mughirah bin Syu’bah - mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta". 

[HR. Bukhari (2231) & Muslim (1757)].

Diantara keutamaannya adalah:

Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia 

عن ابن مسعود قال : قلت: يا رسول الله، أي العمل أفضل؟ قال: "الصلاة على وقتها". قلت: ثم أي؟ قال: "بر الوالدين". قلت: ثم أيّ؟ قال: " الجهاد في سبيل الله

Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan Allah".

[HR. Bukhari (527) & Muslim (85)].

Minggu, 21 November 2010

Suara Geledek Adalah Malaikat Yang Membawa Api


Ada tiga istilah untuk kilatan petir dan geledek yaitu:
  • ar ro’du
  • ash showa’iq 
  • dan al barq 
Ar ro’du adalah istilah untuk suara petir atau geledek. Sedangkan ash showa’iq dan al barq adalah istilah untuk kilatan petir, yaitu cahaya yang muncul beberapa saat sebelum adanya suara petir.

[ Lihat penjelasan para ulama selanjutnya. Mengenai makna istilah ar ro’du dan ash showa’iq, silakan lihat Rosysyul Barod Syarh Al Adab Al Mufrod, Dr. Muhammad Luqman] 

Adab Meminta Izin Sebagaimana Yang Diajarkan Nabi -shalallahu'alaihi wa sallam-


Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan syari'at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan mendalami agamanya.

Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.

Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.

Kesabaran UMMU SULAIM -radliallahu'anha-


 Dari Anas bin Malik -radliallahu'anhu-, beliau berkata: ketika meninggal anak milik Abu Thalhah dari Ummu Sulaim, maka ia (Ummu sulaim) berkata kepada keluarganya: “Jangan kalian ceritakan kepada Abu Thalhah tentang anaknya, hingga aku saja yang akan menceritakan sendiri kepadanya”.

maka datanglah Abu Thalhah, lalu Ummu Sulaim mendekatkan diri padanya dengan membuatkan makan malam, lalu Abu Thalhah makan dan minum. lalu Ummu Sulaim pun melayaninya dengan sebaik-baik pelayanan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Maka terjadilah apa yang terjadi. Ketika (Ummu Sulaim) melihat bahwa suaminya telah kenyang dan puas dengan pelayanannya, maka ia pun berkata: “Wahai Abu Thalhah bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum memberikan pinjaman kepada keluargamu, lalu mereka meminta kembali pinjamannya, apakan boleh mereka menahanya (tidak mengembalikan pinjaman)?” Abu Thalhah menjawab: “Tidak”. Ummu Sulaim berkata: “Oleh karena itu mohonlah pahala atas anakmu”.

Sabtu, 20 November 2010

Menjama' Shalat Karena Pekerjaan.


Pertanyaan :
Bolehkan menjama’ shalat, karena pekerjaan?

Jawab :
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari shahabat Abdullah bin Abbas, beliau berkata:
 جمع رسول الله – صلى الله عليه و سلم – بين الظهر و العصر و المغرب و العشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر , قيل لابن عباس : لما فعل ذلك ؟ قال: كي لا يحرج أمته  

“Rasulullah menjama’ antara Dzhuhur dengan ashar dan antara Maghrib dengan Isya di Madinah, tanpa sebab takut dan hujan”, Ditanyakan kepada Ibnu Abbas:  “Mengapa beliau melakukan demikian itu?”. Beliau menjawab: “agar tidak memberatkan ummatnya”. [lihat shahihul jami’ (1070)].

Bolehkah Menitipkan Paraf Kehadiran?

Pertanyaan:

Terkadang teman kuliahku memintaku untuk menandatangani absensi sebagai tanda kehadirannya pada suatu perkuliahan meskipun ia tidak hadir, apakah perbuatan ini termasuk tolong menolong antar sesama ataukah termasuk kecurangan dan penipuan?


Jawab:

"Perbuatan tersebut termasuk tolong menolong, namun dalam kebatilan yang disukai setan (bukan dalam kebaikan), karena setanlah yang menggodanya hingga ia menandatangani kehadiran orang yang sebenarnya tidak hadir. Maka dalam perbuatan tersebut terdapat tiga pelanggaran:

Kamis, 18 November 2010

Fiqih Udlhiyah (Qurban)

 I. Definisi

Al-Imam Al-Jauhari rahimahullahu menukil dari Al-Ashmu’i bahwa ada 4 bacaan pada kata اضحية :
1. Dengan mendhammah hamzah:أُضْحِيَّةٌ .
2. Dengan mengkasrah hamzah: إِضْحِيَّةٌ
Bentuk jamak untuk kedua kata di atas adalah أَضَاحِي

3. boleh dengan mentasydid ya` atau tanpa mentasydidnya (takhfif). 3. ضَحِيَّةٌ dengan memfathah huruf dhad, bentuk jamaknya adalah ضحَايَا

4. أَضْحَاةٌ dan bentuk jamaknya adalah أَضْحَى

Dari asal kata inilah penamaan hari raya أَضْحَى diambil. 

Dikatakan secara bahasa

ضَحَّى يُضَحِّي تَضْحِيَةً فَهُوَ مُضَحِّ

Al-Qadhi Iyadl rahimahullahu menjelaskan:
“Disebut demikian karena pelaksanaan (penyembelihan) adalah pada waktu ضُحًى (dhuha) yaitu hari mulai siang.” 

Adapun definisinya secara syar’i,

Dijelaskan oleh Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Al-‘Azhim Abadi dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud (7/379):
“ (Udlhiyah) adalah hewan yang disembelih pada hari nahr (Iedul Adha) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” 

(Lihat Al-Majmu’ 8/215, Syarah Muslim 13/93, Fathul Bari 11/115, Subulus Salam 4/166, Nailul Authar 5/196, ‘Aunul Ma’bud 7/379, Adhwa`ul Bayan 3/470)


II. Pensyari'atannya

Dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama.
  • Adapun dari Al-Qur`an, di antaranya adalah: 

firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.”   (Al-Kautsar: 2)

Menurut sebagian ahli tafsir seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah, ‘Atha`, dan yang lainnya, النَّحْرُ dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan qurban. 

Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470) menegaskan:
وَانْحَرْ.
“Tidak samar lagi bahwa menyembelih hewan qurban masuk dalam keumuman ayat”

Juga keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36) 

Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab Fathur Rabbil Wadud (1/370) berhujjah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat menyembelih hewan qurban. Beliau menjelaskan: “Kata الْبُدْنَ mencakup semua hewan sembelihan baik itu unta, sapi, atau kambing.”

  • Adapun dalil dari As-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. 

Di antara sabda beliau adalah hadits Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7) 

Di antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:
ضَحَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi leher kambing tersebut.”
(HR. Al-Bukhari no. 5554 dan Muslim no. 1966, dan lafadz hadits ini milik beliau) 

  • Adapun ijma’ ulama, dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Kabir (5/157) -Mughni-, Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (5/196) dan Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470)1. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang wajib atau sunnahnya. 


III. Keutamaannya

Adapun keutamaan berqurban, maka dapat diuraikan sebagai berkut:

1. Berqurban merupakan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang telah lewat penyebutannya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Hajj ayat 36.

2. Berqurban merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan dan melaksanakannya. Maka setiap muslim yang berqurban seyogianya mencontoh beliau dalam pelaksanaan ibadah yang mulia ini.

3. Berqurban termasuk ibadah yang paling utama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (Al-An’am: 162-163) 

Juga firman-Nya:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2) 

Sisi keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam dua ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan:
'“Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya".

” Beliau mengatakan lagi:
“Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan keduanya dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’am: 162)

Walhasil, shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat.”

IV. Hukum Menyembelih Qurban

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa menyembelih qurban hukumnya sunnah mu'akkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Dalilnya:
Hadits Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

“Apabila masuk 10 hari Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih qurban maka janganlah dia mengambil (memotong) rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim 1977/39)

Sisi pendalilannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan ibadah qurban kepada kehendak yang menunaikannya. Sedangkan perkara wajib tidak akan dikaitkan dengan kehendak siapapun. 
Yang menjadi ta'kid (mu'akadah) sunnah ini adalah berdasarkan hadits:
" Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami."
<span>(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)</span>
<span>sedangkan orang yang </span><span>mampu berqurban tapi tidak berqurban</span><span>, hukumnya </span>makruh saja.

Menyembelih hewan qurban berubah menjadi wajib karena nadzar,
berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah dia menaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 6696, 6700 dari Aisyah radhiyallahu 'anha)

V. Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak).

Dalilnya adalah:

firman Allah:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (Qs. Al Hajj: 34). 

Dalam bahasa arab, yang dimaksud Bahiimatul Al An’aam hanya mencakup tiga binatang yaitu:
  • onta,
  • sapi
  • kambing. 

Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga hewan tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan,
“Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’ III/409)

VI. Umur Hewan Qurban

Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  

“Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan musinnah karena hewan tersebut sudah ganti gigi.

Adapun rincian usia hewan musinnah adalah:

1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba 6 bulan (domba Jadza’ah)

(lihat Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)


VII. Bagaimana Qurban Dengan Kerbau?

Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975).

Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Baik dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.  
Isi Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”

Beliau menjawab:
“Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)

Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas, maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.


VIII. Seekor Kambing untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan,

“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)

Dalam hadits yang lain
عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ اشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ فَذَبَحَ أَحَدَهُمَا عَنْ أُمَّتِهِ لِمَنْ شَهِدَ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ بِالْبَلَاغِ وَذَبَحَ الْآخَرَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Diriwayatkan dari 'Aisyah dan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak menyembelih kurban, Beliau membeli dua ekor kambing kibasy yang besar dan gemuk, bertanduk, berwarna putih dan terputus pelirnya. Beliau menyembelih seekor untuk umatnya yang bertauhid dan membenarkan risalah, kemudian menyembelih seekor lagi untuk diri Beliau dan untuk keluarga Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam".
[Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 3.113; Ahmad, 24.660 dan 24.699]

IX. Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,  

“Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.


X. Masalah Cacat Hewan Qurban 

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, hal ini ada 4 :
  • Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya. Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
  • Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas, misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh diqurbankan.
  • Pincang dan tampak jelas pincangnya. Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
  • Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang. Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:

  • Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong - Tanduknya pecah atau patah. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban, boleh dijadikan untuk qurban, namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)


Fa'idah:

Atas nama siapakah berqurban itu disunnahkan? 
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullahu menjawab:

“Disunnahkan dari orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah mati. Oleh sebab itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berqurban atas nama seorangpun yang telah mati. Tidak untuk istrinya, Khadijah radhiyallahu 'anha, yang paling beliau cintai. Tidak juga untuk Hamzah radhiyallahu 'anhu, paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk putra-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka adalah bagian dari beliau. Beliau hanya berqurban atas nama diri dan keluarganya. Dan barangsiapa yang memasukkan orang yang telah meninggal pada keumuman (keluarga), maka pendapatnya masih ditoleransi. Namun berqurban atas nama yang mati di sini statusnya hanya mengikuti, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak disyariatkan berqurban atas nama orang yang mati secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424 cet. Darul Atsar, lihat pula hal. 389-390) 

Berqurban atas nama sang mayit hanya diperbolehkan pada keadaan berikut:

1. Bila sang mayit pernah bernadzar sebelum wafatnya, maka nadzar tersebut dipenuhi karena termasuk nadzar ketaatan.

2. Bila sang mayit berwasiat sebelum wafatnya, wasiat tersebut dapat terlaksana dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 harta sang mayit. (Lihat Syarh Bulughil Maram, 6/87-88 karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)

Hadits yang menunjukkan kebolehan berqurban atas nama sang mayit adalah dhaif. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2790) dan At-Tirmidzi (no. 1500) dari jalan Syarik, dari Abul Hasna`, dari Al-Hakam, dari Hanasy, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.

Hadits ini dhaif karena beberapa sebab:
1. Syarik adalah Ibnu Abdillah An-Nakha’i Al-Qadhi, dia dhaif karena hafalannya jelek setelah menjabat sebagai qadhi (hakim).

2. Abul Hasna` majhul (tidak dikenal).

3. Hanasy adalah Ibnul Mu’tamir Ash-Shan’ani, pada haditsnya ada kelemahan walau dirinya dinilai shaduq lahu auham (jujur namun punya beberapa kekeliruan) oleh Al-Hafizh dalam Taqrib-nya. Dan hadits ini dimasukkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (2/844) sebagai salah satu kelemahan Hanasy.

Adapun bila ada seseorang (anak / orang tua) yang berqurban atas nama sang mayit (anak / orang tua) , maka amalan tersebut dinilai shadaqah atas nama sang mayit, dan masuk pada keumuman hadits:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ...

“Bila seseorang telah mati maka terputuslah amalannya kecuali dari 3 perkara: shadaqah jariyah....” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)


Wallahul muwaffiq. 

semoga bermanfaat