Kamis, 09 Desember 2010

NIAT BAIK ( النوايا الحسنة )

Bismillah

Banyak orang yang mengatakan: “Iya ini memang tidak ada dalam Islam.. tapi –kan ini baik.. yang pentingkan niatnya..!!”.

Sebelum menjawab perkataan tersebut, saya mengajak kepada saudara pembaca, mari kita sama-sama memperhatikan sebuah atsar dari Abdullah bin Mas’ud radliallahu’anhu, berikut ini:

Dari ‘Amr bin Salamah (seorang tabi’in – murid dari Abdullah bin Mas’ud), berkata: “Kami pernah duduk-duduk didepan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat dzhuhur, apabila beliau keluar maka kami berjalan bersama beliau menuju ke masjid.

Tiba-tiba datanglah Abu Musa Al Asy’ariy radliallahu’anhu, lalu berkata: “Apakah Abu Abdurrahman sudah keluar menemui kalian tadi?”, kami menjawab: “Belum..”, maka Beliaupun duduk bersama kami hingga Ibnu Mas’ud keluar .

Maka ketika beliau keluar, kamipun berdiri semua menghampiri beliau. Lalu Abu Musa berkata: “Wahai Abu Abdurrahman, sungguh aku tadi melihat di masjid satu perkara yang aku mengingkarinya, dan tidaklah aku melihatnya –Alhamdulillah- kecuali perkara itu adalah baik”.

Ibnu Mas’ud bertanya: “Apa itu?”.
Abu Musa menjawab: “Jika engkau hidup sampai masjid nanti, maka engkau akan melihatnya. Aku melihat satu kaum duduk berhalaqoh-halaqoh sambil menunggu shalat, dan pada setiap halaqoh ada seorang (yang memimpin), dan ditanganya ada batu kerikil, lalu ia mengatakan: “Bertakbirlah kalian 100 kali”, maka merekapun bertakbir 100x,

-Setelah selesai- maka ia berkata lagi: “Bertahlillah (ucapan: لا إلة إلا الله ) kalian 100 kali”, maka merekapun bertahlil 100x.

-Setelah selesai- lalu mereka berkata lagi: “Bertasbihlah kalian 100 kali”, maka merekapun bertasbih 100x.

Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?”.
Abu Musa menjawab: “Aku tidak mengatakaan apa-apa kepada mereka, aku menunggumu..”.

Ibnu Mas’ud berkata: “Mengapa engkau tidak perintahkan kepada mereka untuk menghitung keburukan (dosa2) mereka saja, dan aku jamin pasti mereka tidak akan bisa menyisakan dari kebaikan milik mereka sendiri”.

Kemudian beliau berjalan dan kamipun berjalan bersama beliau, hingga sampai dimasjid dan mendatangi salah satu halaqoh tersebut, maka beliaupun berdiri diatas mereka, lalu berkata: “Apa yang kalian lakukan ini?”

Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahman, ini batu kerikil, kami menggunakannya untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih”.

Beliau berkata: “Hitunglah keburukan (dosa2) kalian, maka aku jamin kalian tidak bisa menyisakan kebaikan kalian sedikitpun.. celakalah kalian wahai ummat Muhammad, betapa cepat hancurnya kalian, -perhatikanlah- mereka shahabat Nabi kalian masih berlalu lalang dihadapan kalian, dan ini baju beliau belum robek, dan bejana-bejana beliau juga belum hancur.., demi Dzat yang jiwaku berada di tangan –Nya, sungguh apakah kalian merasa bahwa kalian berada diatas agama (ajaran) yang lebih benar dari agama (ajaran) Muhammad, atau kalian adalah para pembuka pintu kesesatan?”.

Mereka berkata lagi: “Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidaklah menginginkan kecuali kebaikan”.

Ibnu Mas’ud berkata: “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi ia tidak mendapatkannya. Sungguh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami: (( Sesungguhnya akan ada satu kaum yang mereka membaca Al Qur’an, akan tetapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka)), dan demi Allah aku tidak tahu, mungkin kebanyakan mereka ada diantara kalian”. Kemudian beliau pun berpaling dari mereka.

Dan berkata ‘Amr bin Salamah: “Aku melihat kebanyakan mereka yang ada di halaqoh-halaqoh tersebut terbunuh pada waktu perang Nahrawan bersama orang-orang Khawarij”.

[Atsar Riwayat Ad Darimiy dalam “Sunannya” (1 / 68 - 69), dengan sanad yang shahih, dan lain-lain. Lihat dalam kitab ”Ilmu Ushulil Bida’ “(hal. 92) –oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al halabiy..]

Ikhwah fillah.. Ini adalah sebuah atsar yang agung, memberikan kepada kita pelajaran yang sangat tinggi sekali. Kita dapat melihat dengan jelas bagaimana shahabat Nabi terdahulu besosialisasi dalam memahami ibadah, juga dengan wasilah-wasilahnya, maksud dan tujuannya, serta bagaimana niat pelakunya.

Poin-poin penjelasannya atsar di atas sebagai berikut:

  • Ada satu kaum mereka berdzikir kepada Allah dengan cara bertakbir, bertahlil, dan bertasbih.
  • Mereka dalam dzikirnya menggunakan batu kerikil sebagai washilah (media/perantara) untuk menghitung dzikir-dzikir tersebut. 
  • Niat mereka dalam amalan mereka adalah baik, mereka menginginkan dengan dzikir tersebut ibadah kepada Allah, mengingat –Nya dan mengagungkan –Nya. 
  • Akan tetapi bersamaan dengan itu, Abdullah bin Mas’ud mengingkari amalan mereka ini termasuk washilahnya, karena tidak pernah ada datangnya contoh kaifyat (tata cara) dzikir seperti itu dari Rasulullah. 
  • Kaifiyat yang mereka lakukan, ada empat:
a. Dengan cara berhalaqoh-halaqoh
b. Setiap halaqoh ada yang mimpin.
c. Menggunakan batu kerikil untuk menghitung.
d. Berdzikir bareng-bareng.
  • Ibnu Mas’ud tidak menjadikan niat baik mereka sebagai jalan untuk meneruskan amalan mereka, dan tidak menjadikan sebagai dalil benarnya perbuatan mereka. Karena niat baik tidak bisa merubah keburukan menjadi kebaikan, merubah bid’ah menjadi sunnah.. akan tetapi wajib kedudukan niat baik itu diiringi dengan “sesuai dengan sunnah Nabi”, dan mengikuti orang-orang terdahulu dari ummat ini yang shaleh (salafus sholeh). 
  • Sudah sama-sama kita ketahui, bahwa syarat diterimanya Ibadah (secara umum)ada 2, yaitu:
a. Ikhlas: diniatkan dan dipersembahkan hanya untuk Allah semata..
b. Muataba’ah: mengikuti contoh Nabi Kita Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam.
Bila hilang salah satu dari 2 syarat tersebut maka ibadah tersebut tidak diterima Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengan demikian niat baik saja tidak cukup untuk mengamalkan sebuah ibadah, akan tetapi harus sesuai dengan contoh Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.

Dijelaskan oleh para ulama Ahlu sunnah bahwa timbangan amal ibadah itu ada pada 2 hadits, yaitu:

1. Hadits Umar Bin Al Khathab radliallahu’anhu, sebagai timbangan bathin, dalam ibadah
((Sesungguhnya segala amalan/perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhya setiap orang beramal sesuai dengan niatnya, barang siapa yang hijrahnya untuk menuju Allah dan Rasul –Nya, maka hijrahnya akan mendapatkan Allah dan Rasul –Nya, dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia, atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yg ia niatkan))  [HR. Bukhari & Muslim]

2. Hadits ‘Aisyah radliallahu’anha, sebagai timbangan lahir dalam ibadah.
((Barang siapa yang membuat perkara baru dalam perkara (agama) kami ini, apa yang bukan bagian darinya, maka perkara baru tersebut tertolak)). [HR. Bukhariy & Muslim].
 
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
((Barang siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada diatasnya perkara (agama) kami, maka amalan tersebut tertolak)).

Adapun dalam perkara dunia tidak termasuk kedalam pembahasan ini, karena perkara dunia dimasukkan oleh para ulama kedalam pembahasan mu’amalah, yang kaidahnya adalah:

“Pada asalnya dalam mu’amalah adalah mubah, sampai datang dalil yang mengharamkannya / terdapat tanda2 muamalah tersebut bertentangan dengan syari’at, maka diharamkan”.

Contohnya: berbisnis, berdagang, bersosial, sekolah, dll.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat...
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و بارك و سلم, و آخر الدعوانا

الحمد لله ربالعالمين

Jakarta, 30 Desember 2009
Yang senantiasa mengharapkan ampunan Rabbnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar