Jumat, 25 Februari 2011

12 (DUA BELAS) QA’IDAH DAN USHUL DALAM METODE (MANHAJ) “AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH” DALAM PENGAMBILAN ILMU (TALAQIY) DAN PENGAMBILAN DALIL (ISTIDLAL)


الحمد لله , و صلاة و سلام على رسول الله , و على آله و أصحابه و من واله
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, و أشهد أن محمدا عبده و رسوله لا النبي بعده. أما بعد


[1]. Sumber Syari’ah Islamiyah adalah kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasul –Nya –shalallahu’alaihi wa sallam- yang shahih dan ijma’ salafus shalih.

[2]. Semua yang shahih dari sunnah (baca; hadits) Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- wajib diterima, meskipun itu adalah (hadits) ahad.


[3]. Al Marja’ (sumber rujukan/referensi) dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah nash-nash semisalnya (yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah) yang menjelaskannya, dan dengan pemahaman As Salafus Shalih, serta orang-orang yang berjalan di atas manhaj mereka dari kalangan para Imam (ulama), dan apa-apa yang telah tsabit (tetap) darinya tidak boleh dipertentangkan antara yang satu dengan yang lainnya, hanya karena semata-mata kemungkinan-kemungkinan secara bahasa saja.

[4]. Ushuluddin (dasar-dasar agama) semuanya telah dijelaskan oleh Nabi –shalallahu’alaihi wa sallam-, dan tidak diperbolehkan seorangpun menciptakan / membuat / menetapkan (dasar-dasar agama) yang baru sedikitpun yang kemudian ia menyangka bahwa itu adalah bagian dari agama.

[5]. At Tasliim (berserah diri sepenuhnya) hanya kepada Allah dan Rasul –Nya adalah secara lahir dan batin, maka tidak boleh mempertentangkan sesuatu dari Al Qur’an atau As Sunnah yang shahih dengan qiyas (yang batil), atau dengan perasaan, atau dengan kasyaf (menyingkap ta’bir mimpi), atau dengan perkataan syaikh (ulama) atau Imam, dan lain sebagainya.

[6]. Al ‘Aql (akal) yang sharih (murni/sehat) selaras/sesuai dengan An Naql (nash/dalil) yang shahih, dan tidak akan pernah bertentangan sesuatu yang qath’iy (pasti) dari keduanya selama-lamanya, akan tetapi ketika ada prasangka adanya pertentangan antara keduanya, maka yang lebih dikedepankan adalah An Naql (nash/dalil).

[7]. Wajib berpegang dengan lafadzh-lafadzh yang syar’iy dalam masalah aqidah, dan menjauhi lafadzh-lafadzh yang bid’ah. Sedangkan lafadzh yang mujmal (global) yang terdapat kemungkinan salah dan benar, maka ditafsirkan dari segi maknanya (dan apa maksudnya), maka apabila maksudnya adalah haq (kebenaran) maka ditetapkan dengan lafadzhnya yang syar’I, dan apabila maksudnya adalah kebathilan maka di tolak.

[8]. Ke-ma’shum-an (terjaga dari dosa/kesalahan) hanya tetap bagi Rasulullah saja, sedangkan ummat secara keseluruhan juga ma’shum (terjaga) dari ijtima’ (bersepakat) di atas kesesatan. Adapun masing-masing individunya tidak ada seorangpun yang ma’shum diantara mereka. Dan masalah-masalah agama yang di perselisihkan oleh para Imam (ulama) dan ahli ilmu yang lain, maka di kembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, di iringi dengan I’tidzar (pemberian maaf) kepada mereka atas kesalahan ijtihad dari seorang mujtahid ummat.

[9]. Dalam ummat ini ada orang-orang yang muhaddats (diajak bicara) dan malhum (yang diberi ilham), serta ru’yah shalihah (mimpi yang shalihah) adalah haq (benar adanya), hal itu adalah merupakan bagian daripada kenabian, dan firasat orang yang jujur/benar adalah haq (benar adanya), semua ini adalah merupakan karomah dan mubasyarah (khabar gembira) –dengan syarat sesuai dengan syari’at- dan bukan sebagai sumber aqidah atau syari’at.

[10]. Al Miraa’ (debat) dalam masalah agama adalah tercela, sedangkan Al Mujadalah (dialog) dengan baik adalah masyru’ (disyari’atkan). Dan apa-apa yang shahih tentang larangan untuk menyelami sampai sangat dalam terhadap sesuatu masalah dalam agama ini adalah wajib dipatuhi. Dan wajib menahan diri dari menyelami sampai sangat dalam pada apa-apa yang tidak ada ilmunya bagi seorang muslim dan mengembalikan ilmu sesuatu tersebut kepada Dzat yang Maha Mengetahuinya (yakni; Allah)–subhanahu wa ta’ala-.

[11]. Wajib iltizam (berpegang teguh) dengan manhaj wahyu dalam membantah (kebatilan)/menolak (kesesatan), sebagai mana juga wajib dalam al I’tiqad (meyakini) dan at taqrir (menetapkan), maka tidak boleh membantah/menolak bid’ah dengan kebid’ahan yang lain, dan juga tidak boleh melawan at tafrith (peremehan) dengan ghuluw (melampaui batas), demikian juga sebaliknya.

[12]. Semua/setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua/setiap bid’ah adalah sesat, dan semua/setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Sumber dari kitab:  ((  في العقيدة  مجمل أصول أهل السنة والجماعة)) ,
karya: Syaikh, DR. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql -hafidzhaullah- .
Diterjemahkan oleh: Abu Jarir bin Hadi Al Andunisiy..
Jakarta 23 Rabi’ul awwal 1432 H / 26 February 2011 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar