Pajak atau Cukai bahasa arabnya "Adl Dlariibah" (الضريبة) atau " Al Maksu" (المكس)..
و صاحب المكس هو مَنْ يَتَوَلَّى الضَّرَائِب الَّتِي تُؤْخَذ مِنْ النَّاس بِغَيْرِ حَقّ
"Pelaku Al Maksu adalah orang yang mengusai atau yang mengampu Adl Dloro'ib adalah yang mengambil harta dari manusia dengan tanpa haq". [An Nihayah - lihat Aunl Ma'bud].
Salah satu bentuk kedhaliman dalam masalah harta keharaman yang dipandang syari’at Islam adalah mengambil upeti/pajak dan cukai dari harta kaum muslimin.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن صاحب المكس في النار
“Sesungguhnya penarik pajak dalam neraka”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 4/109 dari hadits Ruwaifi’ bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu; Al-Arna’uth berkata : Hasan lighairihi].
لا يدخل الجنة صاحب مكس
“Tidak akan masuk surga penarik pajak”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 4/143 & 150, Abu Dawud no. 2937, Ad-Daarimiy 1/330, dan Al-Haakim 1/404; Al-Arna’uth berkata : Hasan lighairihi].
Bahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyandingkan dosa penarik pajak ini dengan dosa pelaku zina :
مهلا يا خالد، فوالذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له
“Berhati-hatilah wahai Khaalid, demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah bertaubat dengan satu taubat yang seandainya penarik pajak bertaubat, niscaya ia akan diampuni”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1695 dan Ahmad 5/348].
Dalam sabda beliau tersebut memberikan satu pengertian dosa para penarik pajak lebih besar daripada dosa pelaku zina, karena beliau membandingkan dosa zina dengan sesuatu yang besar/lebih besar agar Khalid bin Walid tidak mencela orang yang telah bertaubat dari perbuatan zina.
An-Nawawiy rahimahullah berkata saat mengomentari hadits di atas :
“Bahwasannya penarik pajak termasuk kemaksiatan yang sangat buruk dan dosa-dosa yang membinasakan. Hal itu dikarenakan banyaknya manusia yang kelak akan menuntutnya…”[Syarh Shahih Muslim].
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
إن صاحب المكس لا يسأل عن شيء يؤخذ كما هو فيرمى به في النار
“Sesungguhnya penarik pajak tidak akan ditanya tentang sesuatu sebagaimana mestinya, lalu ia dilemparkan dengannya ke dalam neraka”
[Diriwayatkan Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwaal hal. 704].
Para ulama terdahulu telah sepakat akan haramnya pungutan-pungutan pajak. Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
“Para ulama bersepakat bahwa penarikan pungutan di jalan-jalan dan pintu-pintu kota bagi keperluan orang-orang yang berhutang, serta pungutan yang diambil di pasar-pasar terhadap barang dagangan yang dibawa orang-orang yang lewat dan para pedagang adalah satu kedhaliman yang besar, haram lagi fasik – meskipun pungutan itu disamakan dengan hukum zakat dan dinamakan dengannya, yang dipungut setiap tahun dari yang diperdagangkan kaum muslimin. Adapun pungutan yang diambil dari ahlul-harb dan ahludz-dzimmah atas barang yang mereka perdagangkan sebesar sepuluh persen atau lima persen, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mewajibkannya, ada pula yang melarangnya kecuali jika saat perjanjian damai hl itu telah disyaratkan kepada mereka/ahludz-dzimmah.
[Maraatibul-Ijmaa’, hal 121 – dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menyepakatinya].
Al Imam Adz Dzahabiy memasukkannya kedalam Al Kaba'ir (dosa-dosa besar), beliau berkata:
"... Penarik pajak adalah termasuk penolong kedhaliman yang paling besar, bahkan ia merupakan kedhaliman itu sendiri. Karena, ia mengambil sesuatu yang ia tidak berhak mengambilnya dan kemudian ia memberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya.."
beliau berkata lagi:
".. Penarik pajak memikul tanggung jawab penganiayaan terhadap manusia. Pada hari kiamat kelak, para penarik pajak akan (dituntut) mengembalikan pada manusia apa-apa yang telah ia ambil dari mereka...",
dan beliau juga berkata:
".. Penarik pajak itu menyerupai para perampok/pembegal jalanan. Ia termasuk pencuri. Semua orang yang terlibat dalam pemungutan pajak, seperti penulisnya, saksinya, dan pemungutnya; baik dari tentara, syaikh (sesepuh), atau orang yang berilmu, semuanya bersekutu dalam dosa. Mereka semua memakan barang yang haram, Barang yang haram adalah setiap barang yang jelek yang jika disebutkan mengkonsekuensikan padanya aib/cela” [Al-Kabaair, hal. 185-186].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar